Islamedia
“Saya ingin sekali berqurban, tapi bagaimana ya? Rasanya saya belum mampu bu. Saya kan gak kerja, Cuma dijatah dari suami”. Keluhan semacam ini beberapa kali mampir ke telinga saya. Belum mampu berqurban, padahal sangat ingin berqurban.

Secara fiqh, memang hanya Imam  Abu Hanifah yang mewajibkan qurban setiap tahunnya bagi umat Islam, sementara menurut jumhur ulama hukumnya sunnah muakkadah. Tetapi, jika kita lihat arti etimologisnya bahwa qurban adalah ‘qoroba’,  upaya mendekatkan diri pada Allah, maka mestinya setiap orang yang mengaku muslim ingin berdekat-dekat dengan Allah. Apalagi jika kita ingat asbabun nuzul adanya qurban ini. Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih anak yang sangat dia cintai dan dia dapatkan dengan susah payah, dan beliau laksanakan perintah itu dengan rela hati. Masak kita yang hanya diminta satu ekor kambing saja, bukan anak sendiri, merasa berat hati?

Menurut saya, ini hampir sama dengan masalah zakat, yang secara fiqh baru kena kewajiban jika harta seseorang sudah mencapai nashab dan haulnya. Tapi jika dilihat dari arti etimologinya, ‘zakaa’, membersihkan, siapa yang tak ingin hartanya bersih dari hal-hal yang meragukan? Sehingga alangkah eloknya, berapa pun penghasilan, meskipun tidak mencapai nishab, tetap disisihkan sebagian untuk 8 ashnaf yang diperintahkan.

Kembali ke urusan qurban. Hukumnya sunnah muakkadah, terutama bagi yang mampu, Tapi, mampu yang seperti apa? Bagi saya ini sangat menggelitik. Kalau untuk kebutuhan sehari-hari  dia sudah bisa tercukupi, bagi saya berarti orang tersebut mampu untuk berqurban yang hanya satu tahun sekali. Apalagi kalau dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari cenderung sudah longgar, tidak ‘mengencangkan ikat pinggang’, pasti lebih mampu untuk berqurban. 

 “Duh, gimana ya?  Kebetulan lagi tak ada uang nih untuk qurban. Uangnya kemaren kepake untuk  beli sepeda anakku. Pengin banget sih qurban, tapi hari idul adha tinggal dua hari lagi”.
Kalau seperti ini  keluhannya. masalahnya bukan mampu atau tidak mampu, tapi kurang memiliki perencanaan yang baik. Memang, untuk menyediakan uang ‘sakdheg saknyek’ secara tunai 1 hingga1,5 juta dalam sekejap, tak semua orang bisa. Tapi jangan lupa, kita diberikan waktu setahun untuk merancangnya dengan baik, agar diharapkan setiap tahun kita bisa berqurban. Andai kita mau menyisihkan seratus ribu saja setiap bulan misalnya, maka sudah terkumpul 1,2 juta pada tahun berikutnya dan itu bisa dibelikan satu ekor kambing untuk qurban.

Masalah perencanaan inilah yang lalu membuka mata saya unuk mengadakan program tabungan qurban di liqo tarbawi dengan ibu-ibu sholihah yang setiap Sabtu pagi datang ke rumah.  Mengapa? Karena mereka rata-rata ibu rumah tangga yang tidak bekerja, hanya mendapatkan amanah dari penghasilan suami untuk dikelola. Dengan hati-hati, saya meminta mereka untuk meminta ijin ke suami masing-masing untuk diperbolehkan ikut dalam tabungan qurban di liqo. Saya meminta salah satu ibu tersebut menjadi pengurusnya, khusus tabungan qurban, terpisah dari manajemen keuangan lainnya. Mengapa khusus? Karena prinsipnya tabungan ini benar-benar untuk qurban, tidak boleh diambil untuk selain itu, kecuali sangat-sangat darurat. Kalau diurus oleh bendahara liqo, takut jadi ribet dan nyampur-nyampur dengan uang yang lain.

Supaya tidak memberatkan, dibuat setoran per pekan setiap kali ibu-ibu ini datang liqo, dengan jumlah setoran bervariasi semampu mereka. Namun saya meminta komitmen dari awal dengan jumlah setoran yang tetap utuk setiap orang setiap pekannya. Paling tidak, dengan jumlah setoran yang diazzamkan di awal, tiap orang akan mencoba berkomitmen dengan jumlah itu sebisanya. Juga dengan jumlah setoran yang tetap tersebut,  sudah bisa diperkirakan, kira-kira kapan dia akan mampu berqurban. Setahun lagi, dua tahun, atau tiga tahun lagi? Hemat saya, kalau tidak bisa berqurban setiap tahun, mungkin bisa berqurban dua atau tiga tahun sekali,. Dan itu sangat mungkin dilakukan para ibu rumah tangga ini, asal perencanaannya jelas dan komitmen dalam melaksanakannya.

Kepada mereka, saya pernah berkata:, “Kalau untuk beli microwave, happy call atau alat-alat rumah tangga yang harganya setara atau bahkan lebih mahal dari pada kambing qurban aja ibu-ibu berani beli meski dibela-belain nyicil atau arisan, alangkah baiknya (jika kurang mampu untuk cash) hal itu juga berlaku untuk kurban. Sehingga bisa dipastikan kita mampu berkurban tiap tahunnya, atau  dua-tiga tahun sekali”

Terpikirnya program tabungan qurban ini juga karena saya melihat, selama ini masih bayak keluarga yang sebenarnya ‘mampu’ berqurban sendiri-sendiri suami atau istri, tapi mencukupkan diri hanya berqurban satu kambing saja untuk seluruh keluarga. Padahal syariatnya kan tidak seperti itu. Qurban di-sunnah muakkadah-kan pada diri setiap muslim, bukan pada pasutri atau keluarga. Maka, bagi setiap kita, suami atau istri, alangkah baiknya masing-masing bisa berqurban  setiap tahunnya. Jika ada keluangan rizki lagi, kita juga bisa berqurban untuk anggota keluarga (anak) yang sudah baligh, sehingga menjadi pahala baginya.

Tahun 2006, saya pernah membaca di Koran Republika, tentang kisah yang sangat menyentuh  kaitannya dengan masalah azzam untuk berqurban ini. Beliau seorang penerima BLT yang hanya mampu mengontrak rumah kumuh, tetapi suatu hari menyerahkan tabungan recehannya untuk berqurban. Kisah yang membuat saya malu hati, lalu mendefinisikan ulang tentang ‘kemampuan berqurban’, terutama bagi saya sendiri.