Islamedia -  Seminar Internasional bertajuk “Sejarah dan Peranan Islam dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa” digelar di Hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta, pada hari Senin, 14 November 2011 yang lalu. Seminar yang diselenggarakan secara tertutup itu diprakarsai oleh Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization, Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) dan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
Dalam keynote speech yang diberikannya di awal acara, Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud (Direktur CASIS) menjelaskan kepada seluruh peserta perihal pentingnya memahami sejarah. Menurut Prof. Wan Daud, perhatian yang besar terhadap sejarah telah diberikan oleh para cendekiawan Muslim dari seluruh belahan dunia. Prof. Wan Daud mengutip kata-kata M. Iqbal, cendekiawan Muslim asal India, yang mengatakan, “Setiap bangsa yang mau melangkah ke depan haruslah melihat ke belakang!”
Penelaahan terhadap sejarah bangsa, menurut Prof. Wan Daud, sangatlah penting untuk mengenali jati diri kita di masa kini dan menentukan langkah kita di masa depan. Akan tetapi, Islam menghendaki penelaahan sejarah yang tidak terbatas pada jaman tertentu, tapi bahkan melampaui masa kehidupan peradaban manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai Muslim berbangsa Melayu, penelaahan kita tidak berhenti pada masa Sriwijaya atau Majapahit saja, melainkan terus ke jamannya para Nabi, hingga ke manusia pertama, bahkan terus hingga masanya ketika Allah SWT bertanya kepada ruh-ruh manusia: “Alastu bi rabbikum?” (Bukankah Aku ini Rabb-mu?). Kita perlu mengambil pelajaran dari peristiwa penting ini, karena episode inilah yang menjelaskan siapa kita dan mengapa kita diciptakan.
Belakangan ini, muncul upaya-upaya untuk menafikan kontribusi Islam dalam sejarah bangsa-bangsa Melayu. Hal yang demikian ditengarai terjadi hanya karena peradaban Islam tidak meninggalkan bangunan-bangunan megah seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan dan semacamnya. Cara berpikir yang serba materialistis membuat orang berpikir bahwa warisan penting dari sebuah pembangunan adalah bangunan-bangunan itu sendiri. Sebaliknya, Islam di Melayu tidak dikenal karena peninggalan-peninggalan bangunannya. Prof. Wan Daud kemudian mengutip ucapan Prof. M. Naquib al-Attas, cendekiawan Muslim asal Malaysia, yang mengatakan bahwa sumbangan Islam adalah akhlaq yang agung. Dengan kata lain, Islam memiliki kontribusi besar dalam mencetak pribadi-pribadi yang baik.
Prof. Wan Daud mengingatkan para peserta seminar pada suatu fakta menarik, yaitu bahwa Islam disebarluaskan di tanah rantau Melayu tanpa peranan seorang pun panglima militer. Tidak ada kekuatan militer yang melatari tersebarnya Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Melayu sekarang ini. Dengan kata lain, Islam menyebar semata-mata dengan terjadinya penyebaran worldview (pandangan hidup) yang diajarkan secara serius oleh para da’i dan ulama yang berprofesi sebagai pedagang. Pendapat ini berbeda dengan doktrin sejarah yang menyatakan bahwa Islam disebarkan oleh para pedagang semata. Dengan penekanan semacam ini, maka seolah-olah Islam diajarkan secara tidak serius dan bukan oleh ahlinya. Padahal, di seluruh dunia kita dapat menemukan banyak da’i yang sangat serius dalam dakwahnya dan mencari nafkah dengan berprofesi sebagai pedagang.
Kesamaan worldview inilah, menurut Prof. Wan Daud, yang mampu mempersatukan masyarakat Melayu. Persatuan itu tidak mesti terwujud dalam suatu pemerintahan terpusat, melainkan dalam bentuk kerja sama yang baik di antara berbagai kerajaan Islam di Nusantara.
Selanjutnya, Islam pun menjadi bagian dari identitas Melayu, sehingga kita tak bisa mendefinisikan Melayu tanpa Islam. Meskipun secara formal nama “Melayu” merujuk pada identitas kebangsaan, namun pada prakteknya seseorang yang murtad (keluar dari agama Islam) tak lagi bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat Melayu, atau setidaknya ia tidak lagi dianggap sebagai orang Melayu. Islam juga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas beberapa suku di Indonesia, misalnya suku Minangkabau dan Sunda.
Oleh karena “Melayu” di Malaysia tak dapat dipisahkan dari identitas keislamannya, maka di negeri jiran tersebut pernah terjadi perdebatan seputar nama “Allah”. Nama ini, yang sebelumnya identik dengan agama Islam, hendak digunakan juga oleh umat Kristiani, sebagaimana yang sudah terjadi di Indonesia (meskipun cara pengucapannya berbeda). Akan tetapi, para ulama Malaysia berargumen dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa kata “Allah” dalam bahasa Melayu hanya dibawa oleh orang-orang Islam. Memang benar bahwa nama “Allah” juga digunakan oleh umat Kristiani di Timur Tengah, namun agama Kristen yang memasuki tanah Melayu tidak pernah memperkenalkan nama ini. Oleh karena itu, di tanah Melayu, kita tidak mengenal nama “Allah” kecuali dengan makna yang dipahami oleh umat Muslim.
Islam juga telah memberikan sumbangan yang sangat besar pada konsep pemikiran yang dianut oleh bangsa-bangsa Melayu. Sebagai contoh, bahasa Melayu menyerap kata “’adl” menjadi “adil”. Konsep keadilan dalam Islam berbeda dengan prinsip justice dalam bahasa Inggris, yang memiliki makna “equality” (persamaan dan kesetaraan). Keadilan dalam Islam adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, dan bukannya menyamakan segala sesuatunya. Jika konsep keadilan Islam yang kita gunakan, maka seorang dokter, insinyur, negarawan dan ulama akan memiliki tempatnya masing-masing. Sebaliknya, jika prinsip equality kita terima secara bulat-bulat, maka adab keilmuan akan lenyap. Akibatnya, semua orang bisa bebas berbicara tentang apa saja meskipun tak memiliki otoritas keilmuan dalam hal yang dibicarakannya. Itulah sebabnya di Barat banyak orang yang tidak taat beragama malah membicarakan agama. Inilah sumber dari banyak kerancuan dalam memahami agama, karena kita merujuk pada pihak-pihak yang sesungguhnya tidak mengerti agama.[insist/akmal.sj]